Kuningan News – Belakangan, isu tentang Dana Desa santer diperbincangkan terutama di pemerintahan desa. Pasalnya, tahun ini Mentri keuangan mengeluarkan PMK No 81 Tahun 2025, memantik reaksi para kepala desa. Tidak heran, munculnya PMK ini berkait langsung dengan pembangunan di desa jadi tersendat karena DD tahap II terhenti sementara.
Salah satu yang juga bicara tentang tersendatnya Dana Desa
adalah Kuwu Cikupa Kecamatan Darma, Meli Pemilia. Ia mengatakan, pada PMK no
81/2025 ini ada beberapa pasal yang diubah dan pasal yang ditambahkan. Termasuk
didalamnya ada pasal penundaan penyaluran Dana Desa tahap II bagi yang tidak
menyerahkan syarat Pembuatan Koperasi hingga tanggal 17 September 2025.
“Seolah-olah kehadiran koprasi dipaksakan, dan pencairan Dana
Desa tahap II ini menjadi sandranya. Padahal permasalahan bukan semata karena
keterlambatan penyerahan syarat administratif di atas, karena kenyataanya
banyak desa yang sudah memenuhi syarat tersebutpun dana desanya tidak cair,”
jelas Meli, Minggu (21/12/2025).
Mengingat momentum Desember, lanjut Meli, bertepatan dengan
peringatan disahkannya Undang Undang Desa yang seharusnya menjadi semangat
kerja yang lebih optimal, sepertinya
perlahan mulai dimatikan oleh regulasi turunanya sendiri. Desa yang seharusnya
memiliki kewenangan dalam tata kelola keuangan desa sesuai dengan kebutuhan,
dalam perjalananya semakin tercederai dengan banyaknya aturan yang ditentukan
oleh Pemerintah Pusat.
“Asta cita no 6 yang menyebutkan Membangun dari Desa dan Membangun dari Bawah mulai dipertanyakan.
Dana Desa yang merupakan instrumen terjadinya pemerataan karena sudah real
dirasakan langsung oleh Desa selama 11 tahun terakhir, kini mulai terancam,”
ucapnya.
Namun Meli juga menegaskan, kebijakan untuk mewujudkan
kemandirian ekonomi lokal desa, dengan mewujudkan koprasi Merah Putih, kiranya
semua sepakat. Tinggal eksekusinya saja harus lebih bijak dengan memperhatikan
kondisi objektif di desa. Sejatinya, lanjut Meli, koperasi dibangun atas
dasar kesadaran warga, bukan atas dasar
tekanan untuk menurunkan dana desa tahap II.
Begitupun mekanisme yang dibangun, Meli berujar, keuntungan
untuk PADes dari koperasi tidak semestinya ditentukan, namun sesuai sisa hasil
usaha yang didapatkan. Belum lagi dalam pendanaanya yang masih dianggap
memberatkan. Khawatirnya, bukannya Desa akan mewujudkan kemandirian, namun Desa
akan dibebani utang hingga tahun 2031, waktu yang tidak sebentar.
“Sudah saatnya Desa diberikan kepercayaan, terlalu banyak
program lintas kementrian dan lintas lembaga datang ke Desa tanpa membawa
anggaran, sehingga menganggu pembangunan yang sudah menjadi kesepakatan dalam Musyawarah
Desa. Marwah musyawarah desa seolah sudah hilang. Sedikit-sedikit Desa dilucuti
kewenangannya, sehingga pemerintah desa hanya menjadi bulan-bulanan warga yang
tidak puas.
“Keprihatinan ini termasuk pada banyaknya bantuan yang turun
dan tidak tepat sasaran karena langsung diatur oleh pusat, tanpa konfirmasi
(Pemerintah Desa),” imbuhnya.
Klimaksnya adalah saat aksi massa ke Pemerintah Pusat pada
tanggal 8 Desember 2025, yang dilakukan oleh para kepala desa dan perangkat
desa yang masih punya harapan untuk merebut kembali rekognisi dan subsidiaritas,
termasuk diantaranya Kuwu Meli. Meli juga membahas fenomena media sosial,
dimana banyak framing potongan video dan narasi yang kadang lepas konteks, memposisikan
desa sebagai pihak yang salah dan bahkan dicurigai. Hal itu memukul martabat
kepala desa dan perangkat desa tanpa memberikan klarifikasi yang adil. Belum
lagi, kata Meli, beberapa kepala desa viral yang malah menyampaikan tanggapan
minor.
“Dampaknya, kegagalpahaman dalam mencermati
perundang-undangan ini dianggap kebenaran
oleh sebagian masyarakat. Padahal perjuangan rekan-rekan pada aksi kemarin
bukan sekadar pencairan Dana Desa tahap II akan tetapi lebih kepada bagaimana
ke depan desa bisa mendapatkan kembali marwah-nya
sebagai lilin kecil yang dapat menerangi Indonesi,” pungkas Meli. (KN-7)