Kuningan News - Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 86 Tahun 2023 yang menegaskan bahwa tindakan merusak lingkungan, seperti menggunduli hutan dan membakar lahan, adalah haram menurut agama. Dalam fatwa tersebut, umat Islam diwajibkan untuk ikut mengurangi jejak karbon dan mendukung transisi energi yang adil. Namun, dalam praktiknya, semangat fatwa ini tampaknya bertolak belakang dengan realitas yang ada di lapangan.
Salah satu contoh mencolok adalah aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, yang dilakukan oleh PT Gag Nikel. Meski perusahaan mengklaim telah mematuhi semua prosedur dan izin yang diperlukan, banyak pihak khawatir akan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pulau Gag, yang termasuk dalam kategori pulau kecil, seharusnya tidak boleh ditambang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Keterlibatan tokoh agama dalam proyek ini juga menimbulkan pertanyaan. KH Ahmad Fahrur Rozi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Wakil Sekjen MUI, menjabat sebagai Komisaris PT Gag Nikel. Meskipun ia menegaskan bahwa posisinya di perusahaan tersebut bersifat pribadi dan tidak mewakili PBNU, sorotan publik terhadap situasi ini tidak dapat dihindari.
Fatwa MUI yang mengharamkan merusak alam seakan menjadi dokumen yang tidak diindahkan dalam konteks nyata. PBNU sendiri memiliki pijakan tegas dari Muktamar yang menolak perusakan lingkungan dan mendorong transisi energi. Namun, semua itu akan sia-sia jika tidak dilaksanakan dengan keberpihakan nyata terhadap lingkungan.
Bagi warga yang tinggal di sekitar wilayah tambang, isu ini bukan hanya sekadar pro atau kontra, tetapi menyangkut keadilan dan hak asasi mereka. “Apakah mereka yang tidak terkena dampak akan terus mengatakan bahwa tambang itu halal? Bagi mereka yang terusir dan terpapar polusi, ini adalah masalah yang sangat nyata.” tanya Rahma Shofiana, Kepala Proyek Ummah For Earth Greenpeace Indonesia.
“Inilah kenyataan pahitnya. Selama kita tak merasakannya langsung, mudah sekali membenarkan tambang. Tapi bagi warga yang terusir, terpapar polusi, dan kehilangan tanah kelahiran ini bukan soal pro atau kontra. Ini soal keadilan,” pungkas Rahma. (KN-12)