Oleh: Agus Saeful Anwar (Dosen Prodi PGSD UM Kuningan)
Kuningan News - Pernah ada masa ketika laboratorium dipandang sebagai ruang paling sakral bagi kaum akademisi. Dari tempat itulah lahir berbagai publikasi, seminar ilmiah, hingga pengakuan akademik. Namun, tidak selalu dari sana muncul jawaban atas persoalan nyata di masyarakat.
Itulah kritik lama terhadap wajah pendidikan tinggi kita. Terlalu akademik, terlalu abstrak, dan kerap berputar-putar di ruang diskusi tanpa pernah benar-benar menyentuh tanah. Maka, ketika program Saintek Berdampak diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, sebuah harapan lama seolah dihidupkan kembali. Agar ilmu pengetahuan bisa turun gunung, menjejak tanah, dan menyingsingkan lengan baju.
Program ini secara garis besar membawa pesan penting, yakni ilmu harus berguna, dan kampus harus terasa. Terasa di kehidupan sehari-hari, terasa manfaatnya di pasar rakyat, di pabrik UMKM, bahkan di kantor desa. Tidak lagi eksklusif untuk seminar dan jurnal ilmiah, tetapi menjadi alat bantu konkret bagi masyarakat untuk memecahkan masalah riil.
Ada tiga pilar menarik dari program ini. Pertama, mendorong kampus membuka diri dalam kolaborasi lintas sektor, seperti industri, pemerintah daerah, komunitas lokal. Kerja sama yang dulu hanya slogan dalam proposal, kini mulai diseriusi lewat skema matching fund dan pendekatan Triple Helix. Kedua, riset tidak hanya dinilai dari jumlah sitasi dan indeks H-indeks, tetapi dari sejauh mana hasilnya bisa diimplementasikan. Dari riset menjadi inovasi, dari inovasi menjadi solusi.
Ketiga, pendekatan Outcome-Based Education (OBE) menandai perubahan cara pandang, dari mengejar gelar menjadi mengukir keterampilan. Kita tak butuh lulusan yang hafal teori, tapi gagap di dunia kerja. Kita butuh insan akademik yang tangguh di ruang ide, sekaligus gesit di ruang praktik.
Namun tentu saja, ambisi tak selalu sejajar dengan kenyataan. Di balik desain kebijakan yang gemerlap, ada realitas kampus-kampus yang masih gelap. Secara infrastruktur, banyak perguruan tinggi yang masih terseok-seok. Jaringan internet tak stabil, laboratorium yang belum memadai, bahkan lebih sering terkunci daripada dipakai, dan dosen-dosen yang berjibaku antara beban administrasi dan beban hidup.
Dalam konteks ini, pemerintah tak bisa hanya membagikan visi besar tanpa menyentuh soal dasar. Tak akan lahir inovasi dari kampus yang minim infrastruktur dan dosennya belum dibayar. Negara harus hadir bukan hanya lewat kebijakan, tetapi juga lewat komitmen anggaran dan pendampingan yang nyata.
Kritik lain yang mengemuka adalah soal prioritas. Ketika anggaran pendidikan tinggi justru terancam tersisih demi program-program populis seperti makan gratis, publik berhak mempertanyakan komitmen negara terhadap pencerdasan kehidupan bangsa. Jangan sampai pendidikan hanya menjadi kata manis dalam pidato, tetapi dipinggirkan dalam alokasi APBN.
Saintek Berdampak bisa menjadi angin segar, jika benar dijalankan. Tapi ia juga bisa menjadi angin lalu jika negara tak cukup serius mendampingi dan mengawalnya. Dibutuhkan keberanian politik dan konsistensi teknokratis agar program ini tak berhenti sebagai jargon.
Lebih dari sekadar program, Saintek Berdampak adalah cermin, apakah kita sungguh ingin memerdekakan pendidikan tinggi dari sekadar rutinitas akademik yang menjemukan, menuju pendidikan tinggi yang hidup, lincah, dan berdampak.
Ilmu pengetahuan tidak dilahirkan untuk dipuja di menara gading. Ia dilahirkan untuk menjawab persoalan hidup, menyinari yang gelap, dan mengubah yang stagnan. Dan kampus, jika sungguh berdampak tak hanya mencerdaskan bangsa, tapi juga menghidupkannya.***