Perjuangan & Pembangunan Cisantana dari Masa ke Masa - Kuningan News

Jumat, 22 November 2024

Perjuangan & Pembangunan Cisantana dari Masa ke Masa

 


I. Asal Usul Nama Cisantana & Tokoh Pendirinya.

Nama Cisantana diambil dari bahasa pewayangan, yakni, dari kata “Cis” dan “Santana”. Cis artinya keris, sedangkan Santana adalah menak/pangagung /bangsawan. Jadi kalau digabungkan Cisantana adalah keris milik seorang pangagung/ bangsawan, atau juga bisa berarti seorang pangagung / bangsawan/ menak dengan kerisnya,  yang melambangkan pamor kebangsawanan, pemberani, dan menunjukkan orang-orang Cisantana ini punya trah bangsawan/ningrat, berwibawa, berpendidikan.

Menurut cerita leluhur, Cis = keris dari seorang bangsawan/menak tersebut melayang dan jatuh di blok pangbadakan/sekarang blok Cimantri sebelah utara Dusun Malaraman, dahulu disana tempatnya pangguyangan badak (badak mandi lumpur) dan dari Pena/ pulpen yang sering dipakai menulis oleh bangsawan tersebut terbanglah ke Panulisan, maka  sangatlah kental ada istilah Cisantana- Panulisan.

Wilayah  Kabupaten Kuningan, sudah disebut dalam jaman kerajaan Sunda pajajaran, sampai dengan jaman kerajaan galuh Pakuan saat Islam mulai masuk di tanah pasundan, karena Kuningan merupakan jalur lintasan antara kerajaan Galuh Pakuan yang berada di Panjalu Kabupaten Ciamis dan Wilayah pesisir pantai Cirebon, berlanjut pada kepemimpinan kesultanan yang  dimulai  jauh sebelum masa sebelum kemerdekaan dan masa penjajahan belanda (VOC) sekitar tahun 1700- 1800 an  Masehi yang diprakarsai oleh beberapa tokoh  sepuh yang diutus oleh Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)  beberapa tokoh tersebut yaitu Pangeran Mas Madu Dijaya, Mbah Semut, Ma Sanggem, Mbah Taluk,  yang dipimpin oleh Raden Arya Kemuning, yang berkedudukan di Cisantana (Dusun Cisantana).

Bukti keberadaan 4 tokoh sepuh tersebut adalah adanya makam, dan petilasan 1 makam Pangeran Mas Madu Dijaya berada di blok Lunjuk, 2 makam Mbah Semut dan Ma Sanggem berada di blok Lunjuk, samping bekas Kantor Koperasi Dewi Sri Bahagia, 1 Makam mbah Taluk berada di blok RT 01 Dusun Cisantana, (blok Tunggul Limus), 

Pada masa Kesultanan Cirebon, di tahun 1800 an, telah hadir beberapa tokoh Sepuh yang mengambil peran dan mendirikan Padepokan di wilayah lereng gunung Ciremai, yang sekarang di sebut Depok Palutungan… dahulu masyarakat disana tinggal didaerah wilayah Cigowong, Gunung Pucuk, dan akhirnya turun ke wilayah Parenca Palutungan serta di blok Kubang Palutungan dulu dikenal dengan Dawuan, struktur tatanan masyarakat yang sudah terbentuk berkembanglah menjadi sebuah Desa Palutungan dengan Kuwu pertama Bernama Natadisastra (Alias Abah Kuwu Asma), dengan Balai Desanya saat ini ditempati/didirikan bangunan sekolah SDN 3 Cisantana (SD Inpres Palutungan), sedangkan musholanya bertempat di Masjid lama Palutungan saat ini. 

Pada sekitar tahun 1912 1925 pada masa itu Abah Kuwu Asma (Natadisastra) Kuwu Palutungan sering mendapat kunjungan langsung dari SULTAN MUHAMMAD NURUS Keraton Kanoman  Cirebon dengan menggunakan kereta kuda. Setelah Abah Kuwu Asma (Natadisastra) wafat, (dimakamkan di Pemakaman Depok Palutungan) kemudian  digantikan oleh Putranya  Kertadisastra sampai beliau wafat dan dimakamkan di blok Jambu, blok Erpatu (posisi sekarang berada di bawah kedai kopi kolam kita palutungan).

II. Masa Kedatangan Belanda & Perjuangan Kemerdekaan

Seiring perkembangan dinamika tata pemerintahan, di wilayah Kecamatan Kuningan pada tahun 1819  berdiri  Desa Cigugur, dan dikuti berdiri pula dengan berkembang tata pemerintahan di Desa Puncak, Desa Cisantana dan Desa Palutungan (note : belum diketahui tahun berdirinya Desa Cisantana, Palutungan dan Desa Puncak pada saat itu ).

Menurut sejarah, Belanda masuk ke  Cisantana sekitar tahun 1825 dan dipimpin oleh Jenderal yang bernama Tuan Rosen dan Wiliamsi. Kedatangan mereka untuk menguras hasil bumi masyarakat Desa Cisantana dan Desa Palutungan dengan mengembangkan wilayah dengan cara membuat jalan dari Desa Cigugur hingga ke Palutungan dan membuat area perkebunan kopi dan perkebunan  teh beserta dengan pabriknya .

Perjuangan melawan Belanda pada masa itu dipelopori oleh para tokoh-tokoh diantaranya  2 orang pemberani yakni Eyang Panulisan dan Eyang Depok (Abah Kuwu Asma/Natadisastra). Eyang Panulisan memiliki keahlian dalam bidang mencermati, sedangkan Eyang Depok sebagai seorang ahli strategi & spiritual yang linuwih/pemberani. Bukti otentik adanya kedua tokoh ini yaitu adanya makam eyang Panulisan terletak  pemakaman keramat  panulisan di Palutungan selatan dan makam Eyang Depok terletak di pemakaman Depok serta ada satu lagi makam kuno dengan batu nisan yang panjang dinamakan makam Raja Kasabrangan, yang sampai dengan saat ini belum diketahui asal usulnya. Adapun lokasi tersebut berada di tanah GG Desa Cisantana, blok Depok Palutungan.

Setelah sekian lama Belanda menjajah, kemudian wilayah cisantana tersebut dijajah pula oleh Jepang tepatnya pada tahun 1942. Mereka  merusak pabrik teh yang didirikan oleh Belanda di palutungan.

Sekitar  tahun 1942 berdasarkan hasil rapat para kuwu di tiga desa (Desa Puncak, Desa Cisantana dan Desa palutungan) bersama Camat Kuningan pada saat itu, sesuai hasil rapat dan arahan Pak Camat pada saat itu, disatukanlan ke tiga (3) Desa tersebut yaitu Desa Cisantana dan Desa Puncak dan Desa Palutungan, menjadi satu kesatuan wilayah Desa, dengan dilebur menjadi Desa  Puncak.

Dari masa Penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan masa kemerdekaan Desa  Cisantana, dan Desa Palutungan yang dilebur ke dalam wilayah Desa Puncak baru dilakukan pamekaran kembali  menjadi Desa Cisantana pada tahun 1979 dan SK

Pamekaran Desa Cisantana dari Desa Puncak baru dikeluarkan  pada 29 September

1980.

III. Masa Setelah Kemerdekaan  & Pagar Betis (1945 – 1980)

 Pada tahun 1951 terjadi Pembakaran rumah-rumah di  Palutungan oleh adanya  Gerakan separatis DI TII Sekarmaji Karto Suwiryo di daerah Lereng Gunung Ciremai, diantaranya daerah Palutungan dan masyarakat Palutungan  pindah dari Palutungan ke bawah karena pembakaran rumah -rumah warga saat itu dan hanya tersisa tiga rumah warga, sebagai bentuk perhatian dari pemerintah serta upaya masyarakat didalam membantu menumpas Gerakan separatis DI TII, di Gunung Ciremai dengan dibagikannya kavling pemukiman kepada warga palutungan saat itu. sekitar 200-an Kepala Keluarga, secara merata mendapat lahan pemukiman seluas 14 Bata (I bata = 1x14 M) untuk setiap KK. 

Masyarakat berharap mendapat keamanan di wilayah yang baru ini (Supaya aman; Malar Aman), maka itulah asal usul nama Malar Aman (Supaya Aman). Setelah dirasa aman, tahun 1952 sebagian warga ada yang Kembali ke Palutungan dan disebut dengan istilah Lembur Midua, (Palutungan dan Malar aman) sebagian warga yang mengungsi kembali lagi ke atas ke Palutungan, Adapun penamaan blok kebun kopi dimulai pada saat pagar betis (DI TII)  yang terdiri dari nama- nama wilayah asal para pelaku pagar betis saat itu sesuai dengan wilayah yang terjadwal di pagar betis (Kopi Wakuwu, Kopi Arben, Kopi Cigugur, kopi Gewok, Kopi Gandasoli, Kopi Bojong, Kopi Nanggerang, kopi Cilaja, Kopi Ragawacana, Kopi Cirendang, Kopi Padarek,Kopi Walangsi, Kopi Gandok). 

Di Cisantana pada tahun 1955 sudah ada/ berjalan kegiatan sekolah dasar (SD) dengan Ibu guru Supri (Alm) sebagai pengajarnya dan Sekolah bertempat dikediamannya, samping masjid Nurul Hidayah Cisantana saat ini, kemudian tahun 1958 pindah sekolah ke Rumah Bpk guru Saleh (alm) dan pada  tahun 1959 pindah ke Gedung SD yang baru tepatnya SDN Cisantana 1 saat ini, Sejak pecahnya konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia dengan gerakan separatis bersenjata DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, rakyat bersama Tentara Nasional Indonesia bahu-membahu mempersempit ruang gerak DI/TII. Puncaknya pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap, setelah masa Gerakan Separatis DI TII Sekarmaji Kartosuwiryo pada tahun 1951 sampai dengan  1562, maka berakhirlah masa pagar betis yang ada di wilayah Masyarakat desa disekitar lereng gunung Ciremai. Karena wilayah Desa Puncak yang terlalu luas maka pada tahun 1979 dimekarkanlah Cisantana menjadi  menjadi Desa Kembali dari Desa Puncak, dengan

SK Pamekaran Bupati Kuningan No. 973/HK021.1./SK/A/IX/1980  tanggal 29

September tahun 1980, dipimpin oleh kepala desa yang bernama H. Emon Sutono. 

Pada saat inilah Desa Cisantana mulai berkembang, dulu jalan masih berupa tanah dan bebatuan namun pada tahun 1981 jalan mulai diaspal, kemudian tahun 1982 listrik masuk desa, pengairan, pembangunan dan perekonomian rakyat membaik dan berkembang dengan pesat, dimana Desa Cisantana menjadi penghasil tanaman pangan Padi Huma dan sayuran hortikultura sampai dengan sekarang.

Sebelum tahun 1982 sebelum listrik masuk desa, masyarakat menggunakan 12 buah diesel untuk menghasilkan listrik. Sistem pengairan menggunakan pipa karet, kemudian beralih menggunakan pipa paralon, terus berkembang hingga sekarang menggunakan pipa besi, dan PE.

Kantor Pemerintahan Desa beralih dari lokasi lama di Depan Masjid Nurul Hidayah Desa Cisantana ke lokasi yang baru pada awal pembangunan pada tahun 2004 dan mulai pindah dibalai desa baru pada tahun 2005., dan alhamdulillah berkembang sampai dengan sekarang.

Penulis : Padli Nur Fitrah (Mahasiswa Teknik Pangan Unisa Kuningan)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda