Kuningan News - Masyarakat Kabupaten Kuningan beberapa bulan lalu dikejutkan dengan kabar adanya dugaan fraud bernilai miliaran rupiah yang melibatkan seorang oknum karyawan Bank BJB. Alih-alih dilaporkan ke aparat penegak hukum atau diberhentikan, karyawan tersebut justru hanya dipindahkan ke kantor wilayah lain. Kebijakan ini menuai kritik keras dan mempertanyakan komitmen BJB dalam menjaga integritas lembaganya.
Sebagai salah satu bank pembangunan daerah terbesar di Indonesia, BJB mengelola dana publik yang berasal dari masyarakat dan pemerintah daerah. Dengan posisi strategis tersebut, BJB semestinya menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas. Sikap lunak terhadap oknum yang diduga melakukan fraud menciptakan persepsi bahwa ada standar ganda dalam penegakan aturan internal.
Dalam praktik umum, bank-bank BUMN maupun BUMD secara konsisten melaporkan dan memproses hukum setiap pegawai yang terlibat kejahatan perbankan. Langkah itu diambil demi menegakkan hukum, menjaga citra institusi, serta memberikan efek jera. Kebijakan BJB yang berbeda ini justru memunculkan dugaan publik bahwa ada upaya “melindungi” oknum tertentu atau kepentingan lain di balik layar.
Keputusan memindahkan karyawan yang diduga melakukan fraud ke kantor wilayah lain bukan saja menimbulkan pertanyaan soal integritas manajemen, tetapi juga berpotensi menimbulkan risiko berulangnya pelanggaran di tempat baru. Tanpa proses hukum dan sanksi tegas, langkah ini ibarat memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Publik berhak mendapatkan penjelasan yang transparan mengenai alasan dibalik kebijakan ini. Sebagai institusi yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia, BJB seharusnya memberikan klarifikasi terbuka agar kepercayaan masyarakat tidak semakin terkikis. Keterbukaan informasi publik juga akan menepis dugaan adanya konflik kepentingan di internal manajemen.
Para pengamat tata kelola keuangan daerah menilai, jika benar terjadi fraud bernilai miliaran rupiah, maka kasus ini seharusnya tidak hanya menjadi urusan internal BJB. Aparat penegak hukum perlu dilibatkan untuk memastikan kerugian negara atau dana publik tidak hilang tanpa pertanggungjawaban hukum yang jelas.
Masyarakat juga mendorong pemerintah daerah selaku pemegang saham mayoritas BJB untuk menegur dan memastikan manajemen bertindak sesuai prinsip good corporate governance. Sebagai bank milik daerah, BJB punya tanggung jawab moral dan hukum lebih besar untuk menjaga integritas, karena citra dan reputasinya langsung berdampak pada kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi BJB dalam menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Tanpa penjelasan terbuka dan langkah tegas, publik akan terus mempertanyakan integritas manajemen. Pada akhirnya, hanya dengan menegakkan hukum dan bersikap transparan, BJB dapat memulihkan kepercayaan masyarakat dan membuktikan dirinya sebagai lembaga keuangan daerah yang kredibel.***
Oleh : Genie / Pengamat Perbankan