Tentang Pemilu Serentak, Yusril Ihza Mahendra: Putusan MK Nomor 135 Berpotensi Melanggar Konstitusi!
Kuningan News – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, baru-baru ini mengunggah video di akun Instagramnya yang membahas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. Dalam video tersebut, Yusril menyampaikan pandangannya mengenai keputusan yang mengeluarkan pemilihan anggota DPRD dari rezim pemilu dan menyatukannya dengan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Yusril mengungkapkan bahwa keputusan MK tersebut tampak didasarkan pada pertimbangan praktis, mengingat kedua jenis pemilihan tersebut memiliki basis teritorial yang sama, baik untuk tingkat I maupun tingkat II. Namun, ia menegaskan bahwa Putusan MK Nomor 135 itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 E UUD 1945.
Menurut Yusril, Pasal 22 E UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik pusat maupun daerah, harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilihan tersebut harus berbarengan dengan pemilihan presiden, wakil presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Daerah. Yusril khawatir bahwa keputusan ini bisa mengakibatkan kekosongan legitimasi bagi anggota DPRD yang terpilih pada pemilu 2024.
Lebih lanjut, Yusril menyoroti bahwa Pasal 18 UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusi untuk pilkada tidak secara spesifik mengatur periode penyelenggaraannya. Waktu pelaksanaan pilkada, menurutnya, diatur oleh undang-undang tersendiri. Dengan demikian, jika pemilu DPRD diundur hingga tahun 2029, anggota DPRD hasil pemilu 2024 akan bekerja tanpa legitimasi konstitusi.
Yusril menekankan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga pemerintah harus mencari solusi konstitusional untuk mengatasi masalah ini. “Kita tidak punya pilihan lain kecuali mencari jalan keluar yang tetap memiliki pijakan konstitusional,” tegasnya.
Tahun 2024 diproyeksikan sebagai tahun politik yang dinamis. Yusril juga menyebutkan bahwa Komnas HAM telah melakukan kajian dan investigasi terkait pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam pemilu mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap isu-isu HAM harus tetap menjadi fokus, terutama dalam konteks penyelenggaraan pemilu.
“Saya berharap pelanggaran tidak terjadi, dan kita tidak mendengar berita buruk tentang penyelenggara pemilu yang meninggal karena beban kerja yang berat,” lanjut Yusril. Ia memberikan apresiasi kepada Komnas HAM yang telah menjalankan tugasnya sebagai lembaga negara independen, serta siap menerima kritik dan masukan untuk perbaikan.
Dengan adanya pandangan Yusril Ihza Mahendra mengenai Putusan MK dan dinamika politik yang akan datang, masyarakat diharapkan lebih peka terhadap isu-isu konstitusi dan hak asasi manusia. Hal ini penting agar pemilu yang akan datang dapat berjalan dengan adil, transparan, dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kritik dan saran dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu serta memastikan bahwa setiap suara rakyat dihargai dan dilindungi. (KN-12)