Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Kuningan News - Pembentukan Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Ormas Meresahkan oleh pemerintah merupakan langkah berani sekaligus sinyal bahwa negara hadir melindungi warganya dari aksi-aksi intimidatif yang merusak sendi kehidupan sosial dan ekonomi.
Namun, inisiatif ini tak boleh berhenti di tataran simbolik. Tantangan lapangan jauh lebih kompleks dari sekadar pemberantasan preman pasar atau sweeping atribut Ormas.
Yang harus dihadapi adalah ekosistem premanisme yang telah lama tumbuh dalam ketidakadilan struktural dan pembiaran institusional.
Premanisme hari ini bukan lagi sekadar praktik kekerasan fisik, tapi telah menjelma menjadi sindikat kuasi-legal yang memanfaatkan celah hukum, ketakutan publik, dan kelemahan birokrasi untuk menguasai ruang-ruang ekonomi rakyat.
Modusnya variatif: pungli parkir, penguasaan lahan, pemalakan proyek swasta, hingga intimidasi atas nama "kearifan lokal".
Sementara itu, sebagian Ormas menyalahgunakan statusnya sebagai entitas sipil untuk melakukan mobilisasi kekuatan demi kepentingan sempit, bahkan transaksional.
Satgas Tidak Cukup Hanya Reaktif
Pengalaman masa lalu menunjukkan, pendekatan reaktif—menangkap preman saat viral atau membubarkan pos Ormas saat ramai di media—hanya bersifat kosmetik.
Tanpa strategi sistemik, Satgas akan menjadi alat sesaat tanpa dampak jangka panjang. Perlu transformasi dari pendekatan insidentil ke pendekatan berbasis intelijen dan data.
Satgas seharusnya menjadi laboratorium kebijakan penegakan hukum yang berani mengintervensi akar permasalahan.
Premanisme bisa tumbuh karena ada pembiaran, kompromi aparat, bahkan kolusi dengan aktor politik lokal. Maka, penguatan internal Satgas harus dimulai dari audit integritas institusi penegak hukum itu sendiri.
Tiga Pilar Penguatan Satgas
Pertama, integrasi komando dan data. Banyaknya lembaga yang dilibatkan dalam Satgas—dari Polri, TNI, Kejagung, hingga BIN—menyimpan potensi tumpang tindih jika tak diatur dengan standar operasi terpadu.
Satgas harus punya pusat data bersama berbasis teknologi, yang mampu memetakan wilayah rawan, jaringan pelaku, hingga tren kejahatan berbasis lokasi. Penggunaan CCTV, AI, bahkan sinergi dengan startup lokal bisa dioptimalkan.
Kedua, partisipasi masyarakat. Rakyat adalah korban sekaligus aktor kunci.
Dibutuhkan platform pelaporan yang mudah, aman, dan responsif. Pemerintah bisa meluncurkan kanal pengaduan berbasis aplikasi, yang terhubung langsung ke posko Satgas daerah.
Sosialisasi dan edukasi menjadi mutlak: rakyat perlu tahu bahwa negara memihak mereka, dan keberanian melapor adalah bentuk bela negara.
Ketiga, penindakan hukum yang konsisten dan transparan.
Jangan ada lagi istilah "preman dibina", jika yang dimaksud adalah pembiaran terstruktur. Penegakan hukum harus dilandasi prinsip due process of law, bukan sekadar show of force.
Ormas yang tidak berbadan hukum dan melakukan pemerasan harus dibubarkan, bukan dinegosiasikan.
Dampak Ekonomi dan Politik
Premanisme dan Ormas meresahkan bukan cuma ancaman hukum dan sosial, tapi juga penghalang ekonomi.
Menurut catatan KADIN, banyak investor domestik dan asing yang menarik diri dari proyek di daerah karena tak kuat menghadapi "biaya tak resmi". Ini menunjukkan bahwa premanisme adalah bentuk ekonomi rente yang menggerogoti produktivitas dan iklim investasi.
Secara politik, jika dibiarkan, fenomena ini akan memperkuat dominasi aktor informal dalam kontestasi elektoral.
Preman dan Ormas dapat menjadi mesin politik pragmatis yang memobilisasi massa, memaksa preferensi publik, bahkan menciptakan disinformasi.
Negara harus menunjukkan bahwa kekuasaan sah hanya boleh dijalankan oleh otoritas legal, bukan oleh aktor jalanan yang mengklaim legitimasi dari kekuatan otot atau jumlah anggota.
Rehabilitasi, Bukan Hanya Represi
Namun, upaya memberantas premanisme juga harus disertai strategi rehabilitatif.
Banyak pelaku lapangan hanyalah korban dari ketimpangan struktural: urbanisasi tanpa pekerjaan, putus sekolah, atau eks narapidana yang tak diterima kembali ke masyarakat.
Negara wajib menyediakan jalan keluar: pelatihan kerja, insentif UMKM eks-preman, hingga fasilitasi reintegrasi sosial.
Bekerja sama dengan Kemensos, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Dinas Sosial daerah, Satgas bisa menciptakan jalur baru: dari jalanan menuju kehidupan produktif. Penanganan premanisme bukan hanya urusan aparat, tapi juga urusan keadilan sosial.
Menata Ulang Relasi Negara-Ormas
Kita juga perlu bersikap objektif: tidak semua Ormas meresahkan.
Banyak Ormas yang berkontribusi positif dalam pembangunan, advokasi sosial, dan pendidikan publik. Yang harus ditertibkan adalah Ormas yang menjelma jadi "kontraktor lapangan", memonopoli jasa keamanan, atau menjalankan pungutan liar.
Regulasi tentang Ormas perlu diperkuat.
Kemendagri harus mempercepat proses verifikasi legalitas Ormas, dan membuat sistem evaluasi tahunan berbasis kinerja dan kepatuhan hukum. Ormas yang melanggar harus diberi sanksi administratif hingga pembekuan izin. Dengan demikian, kita bisa memilah mana Ormas yang patut didukung, dan mana yang harus ditindak.
Perlu Momentum Reformasi Sosial
Satgas Terpadu ini adalah momentum langka. Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus memanfaatkannya untuk melakukan koreksi struktural terhadap akar kekerasan informal yang selama ini dibiarkan.
Premanisme bukan budaya, tapi penyakit. Ormas meresahkan bukan ekspresi demokrasi, tapi penyimpangan.
Jika negara benar-benar hadir dengan keberanian, integritas, dan strategi jangka panjang, maka bukan tidak mungkin, dalam waktu lima tahun, kita bisa menyaksikan transformasi sosial di mana keamanan bukan hasil kompromi, tapi hasil dari hukum yang ditegakkan dan keadilan yang ditebar. ***