Kuningan News - Saat mendengar kata "calo", apa yang terlintas di
benakmu? Tukang tiket gelap? Joki antrean? Penolong saat darurat? Atau malah
sumber ketidakadilan?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), calo diartikan
sebagai orang yang menjadi perantara dan menawarkan jasanya untuk mengurus
sesuatu dengan imbalan.
Calo itu makhluk unik. Di satu sisi, mereka seperti
superhero dadakan. Bayangin kamu lagi buru-buru, antrean tiket kereta panjang
kayak ular naga, waktu mepet, dan boom seorang calo datang menawarkan tiket
"instan" tanpa perlu ribet. Saat itu, mereka seperti pahlawan super
yang turun dari langit. Beresin masalah kilat mata. Ada yang butuh SIM? Ada
yang mau cepat mengurus dokumen? Calo selalu punya "jalan pintas".
Namun di sisi lain, calo juga bisa dianggap sebagai penyakit
sosial. Kenapa? Karena kehadiran mereka justru merusak sistem yang seharusnya
adil dan tertib. Mereka memanfaatkan celah dalam birokrasi untuk keuntungan pribadi,
memperparah ketidakadilan, dan merusak kepercayaan terhadap institusi.
Masyarakat pun punya dua sisi rasa terhadap calo: ada yang
merasa terbantu, ada pula yang mengeluhkan praktik ini yang terus subur. Tarif
jasa calo pun bervariasi, tergantung siapa calonya. Di tengah masyarakat, calo
sudah jadi fenomena biasa, mungkin kamu pernah bahkan ditawari
"bantuan" oleh mereka saat mengurus administrasi. Ironisnya, dalam
beberapa instansi, oknum internal pun kadang merangkap sebagai calo. Semoga
saja praktik seperti ini tidak terjadi di Kabupaten Kuningan.
Berdasarkan temuan di lapangan, praktik calo muncul karena
masyarakat cenderung memilih jalan pintas untuk menghindari kerumitan, meski
harus membayar lebih mahal. Calo bebas berkeliaran di sekitar instansi
pemerintah dan swasta, menawarkan kemudahan kepada siapa saja yang butuh
kecepatan. Sayangnya, ini justru memperlebar kesenjangan mereka yang tak mampu
membayar jasa calo harus rela antre lebih lama atau bahkan tertinggal.
Padahal sudah di atur dengan jelas dalam Undang-Undang.
Misalnya Pasal 17 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa pejabat pemerintahan dilarang untuk
menyalahgunakan kewenangan yang diberikan padanya. Penyalahgunaan kewenangan
termasuk tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang seringkali terjadi dalam
praktik calo. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi
administratif dan/atau pidana.
Tapi peraturan tersebut bukan penghalang untuk mendapatkan
penghasilan tambahan meskipun sudah di larang, bukan tanpa sebab calo tetap
eksis karena ada beberapa faktor seperti birokrasi lambat dan rumit yang membuat masyarakat mencari jalan
pintas, kurangnya pengawasan ini
membuka peluang terjadinya percaloan dan juga tingginya permintaan dalam situasi mendesak, banyak orang rela
membayar lebih demi kecepatan dan sekali lagi semoga calo ini tidak ada di
Kabupaten Kuningan. Kalaupun ada semoga masih di angka yang wajar semisal
contoh dari yang seharunya 300ribu jadi 400ribu jangan jadi 800ribu apalagi
jutaan jangan sampai dalam situasi terdesak, orang rela membayar berapa pun
untuk menghindari kerumitan. Bagi calo, kesempatan ini adalah ladang emas. Bagi
kita yang butuh, ini kadang terasa seperti "terpaksa memilih".
Akhirnya, calo bisa dilihat sebagai pahlawan atau penyakit
sosial, tergantung sudut pandang dan situasinya. Namun dalam jangka panjang,
keberadaan mereka lebih banyak mencerminkan ketidakberesan sistem yang ada.
Bukan hanya calo yang perlu disalahkan, tapi juga sistem dan budaya kita yang
membiarkan praktik ini terus hidup. Sudah saatnya kita berbenah dan tidak lagi
bergantung pada "pahlawan bayangan" seperti calo dan perlahan kita harus
berani untuk melaporkan adanya praktik calo di lingkungan instansi pemerintah maupun
swasta.
Penulis: Rivan Maulana