Pendahuluan
Perbedaan teologis dan fiqih antara Syiah dan Sunni bukan sekadar perbedaan ritualistik, melainkan hasil sejarah panjang pembentukan otoritas keagamaan : Syiah dan Sunni, dinamika politik pasca wafatnya Rasulullah, perkembangan metodologi hukum dan dalam konteks modern, serta implikasi geopolitik global.
Memahami perbedaan ini secara utuh sangat penting, bukan hanya untuk memahami interaksi intra-umat, tetapi juga untuk membaca arah geopolitik dunia Islam dalam isu-isu mendesak seperti Palestina, hegemoni regional, dan konflik global.¹
1. Fondasi Epistemologis: Imamah vs. Syura
Syiah Imamiyah menempatkan imamah sebagai bagian inti akidah dan kelanjutan dari misi kenabian. Imamah bukan sekadar jabatan politik, melainkan “otoritas ilahiah” yang diyakini ma‘shum dan menjadi hujjah atas umat.
Al-Kulaini dalam al-Kāfi menegaskan bahwa perkataan Imam adalah hujjah sebagaimana perkataan Rasulullah.²
Sunni, sebaliknya, memandang kepemimpinan sebagai wilayah ijtihad manusia berdasarkan prinsip syura, yang tidak memiliki dimensi ilahiah.
Asy-Syathibi dalam al-I‘tiṣām menolak klaim otoritas agama yang melekat pada figur pasca Nabi.³
Perbedaan ini kemudian menjadi kunci dalam cara masing-masing mazhab memahami hukum, otoritas, dan legitimasi politik.
2. Metodologi Istinbath: Dua Jalur Epistemik
Metode istinbath Sunni dibangun melalui Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Formulasi ini menjadi landasan bagi mazhab-mazhab fiqih Sunni dalam kurun awal Islam.⁴
Syiah memperluas konsep Sunnah untuk mencakup riwayat para Imam, sehingga otoritas ijtihad berpusat pada Ahlul Bait.
Ijma’ dalam Syiah hanya bernilai jika mencerminkan kehendak Imam. Konsep ‘aql pun diposisikan sebagai dalil independen dalam kerangka ushul Syiah.⁵
3. Prinsip Fiqih Khas Syiah
a. Taqiyyah sebagai Instrumen Teologis-Historis
Syiah menempatkan taqiyyah sebagai prinsip agama, bukan sekadar dispensasi. Imam Ja‘far ash-Shadiq menyatakan: “Tidak ada agama bagi yang tidak bertaqiyyah.”⁶
Sunni menerima taqiyyah hanya dalam situasi kondisi darurat.
b. Wilayah dan Otoritas Faqih
Konsep wilayah dalam Syiah adalah konstruksi teologis yang menggabungkan otoritas spiritual, politik, dan eskatologis.
Formulasi kontemporernya, Wilayatul Faqih, menjadi dasar politik Iran modern.⁷
c. ‘Aql sebagai Dalil
Syiah memberi tempat independen pada akal sebagai sumber hukum, berbeda dengan Sunni yang memposisikan akal dalam kerangka qiyas, istihsan, dan maslahah.⁸
4. Tafsir dan Hadits: Divergensi Otoritatif
Syiah dan Sunni berbeda dalam penafsiran ayat-ayat kunci tentang kepemimpinan, seperti QS. Al-Ma’idah 55 dan 67.⁹
Hadits-hadits Ghadir Khum, Tsaqalain, dan Dua Belas Khalifah memberikan landasan naratif kuat dalam teologi Syiah, tetapi ditafsirkan berbeda dalam Sunni.¹⁰
5. Fiqih sebagai Praktik: Mut’ah, Jama’ Shalat, dan Otoritas Ritual
Dalam Syiah, nikah mut‘ah memiliki legitimasi kuat dalam riwayat Imam dan kitab-kitab seperti al-Istibṣar.¹¹
Sunni memandang mut‘ah telah di-nasakh berdasarkan riwayat sahabat, sebagaimana disyarahkan dalam Fath al-Bārī karya Ibn Hajar al-‘Asqalani.¹²
Demikian pula dalam shalat, Syiah membolehkan jama’ secara permanen; Sunni membatasi pada kondisi tertentu.¹³
6. Variasi Pandangan Sunni terhadap Teologi dan Fiqih Syiah
Perbedaan Sunni dan Syiah tidak pernah bersifat monolitik. Dalam tradisi Sunni terdapat variasi pandangan yang luas:
a. Pendekatan Moderatif- Akademis
Imam al-Ghazali, Yusuf al-Qaradawi, dan sebagian ulama al-Azhar menempatkan Syiah sebagai bagian umat Islam, meski berbeda dalam sejumlah pokok akidah.¹⁴
Pendekatan ini menekankan dialog, pencegahan fitnah, serta fokus pada tantangan eksternal.
b. Pendekatan Tekstual-Konfrontatif
Kelompok salafi-literal memandang doktrin imamah sebagai bid‘ah dan sebagian riwayat Syiah sebagai rekayasa.¹⁵
Narasi ini menguat ketika konflik regional meningkat.
c. Pendekatan Geopolitik-Pragmatis
Negara-negara Sunni pragmatis (misalnya Turki) membaca relasi Sunni–Syiah secara fleksibel tergantung kepentingan energi, keamanan, dan diplomasi regional.¹⁶
7. Pergeseran Geopolitik Kontemporer dan Dampaknya pada Relasi Sunni–Syiah
a. Iran sebagai Kekuasaan Syiah Modern
Iran pasca Revolusi 1979 menempatkan Wilayatul Faqih sebagai dasar pemerintahan, menjadikan Syiah sebagai aktor geopolitik transnasional serta poros perlawanan terhadap Israel dan AS.¹⁷
b. Negara-Negara Sunni dan Politik Identitas
Negara-negara Sunni menjadikan narasi anti-Syiah sebagai alat mobilisasi politik domestik dan regional, terutama terkait konflik Suriah dan Yaman.¹⁸
c. Kebangkitan Ideologi Resistensi dan Reorientasi Sunni
Melemahnya unipolaritas AS membuat sebagian kelompok Sunni melihat Iran sebagai mitra strategis dalam isu Palestina, di tengah sikap ambivalen sebagian negara Arab.¹⁹
8. Implikasi Pandangan Sunni terhadap Respons atas Isu Palestina
a. Narasi Sunni Moderat
Kelompok modernis menekankan diplomasi, advokasi HAM, dan pendekatan legal-internasional.²⁰
b. Narasi Sunni Konservatif
Kelompok konservatif-literal memandang isu Palestina sebagai mandat jihad, tetapi tetap menolak kepemimpinan Iran dan Syiah.²¹
c. Narasi Sunni Geopolitik-Pragmatis
Negara-negara Sunni pragmatis menggunakan Palestina sebagai kartu diplomatik dalam negosiasi geopolitik (misalnya dalam normalisasi diplomatik dengan Israel).²²
9. Interseksi Syiah–Sunni dalam Praktik Resistensi Palestina
Hamas (Sunni) dan Hizbullah (Syiah) telah berkolaborasi karena ancaman Zionisme dianggap lintas mazhab.²³
Geopolitik memaksa kedua belah pihak untuk bekerja sama dalam resistensi.
Kesimpulan
Perbedaan teologi dan fiqih Sunni–Syiah bersifat fundamental, namun variasi pandangan dalam tubuh Sunni menunjukkan sifat kompleksitas relasi tersebut.
Pergeseran geopolitik kontemporer telah membentuk ulang dinamika keduanya, memicu konflik sekaligus membuka ruang kolaborasi dalam isu-isu strategis seperti Palestina dan Orang.
Kesadaran terhadap dimensi epistemologis, teologis, dan geopolitik menjadi kunci untuk mengelola perbedaan secara produktif dan membangun solidaritas umat yang dewasa dan berorientasi masa depan yang harmonis, terlebih di Indonesia dalam konteks urgensinya kebutuhan indahnya persatuan Indonesia.
Catatan Kaki
¹ Madelung, The Succession to Muhammad, 1997.
² Al-Kulaini, al-Kāfi, Beirut: Dar al-Adwa’, t.t., jil. 1.
³ Asy-Syathibi, al-I‘tiṣām, Kairo: Dar al-Turats, 1968.
⁴ Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, 1997.
⁵ Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 1985.
⁶ Al-Kulaini, al-Kāfi, jil. 2.
⁷ Khomeini, Islamic Government: Governance of the Jurist, 1970.
⁸ Momen, 1985.
⁹ Fakhr Razi, Tafsir al-Kabir, tafsir QS 5:55.
¹⁰ Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 36.
¹¹ Al-Tusi, al-Istibṣar, jilid 3.
¹² Ibn Hajar, Fath al-Bārī, jilid 9.
¹³ Al-Nawawi, al-Majmu’, jilid 4.
¹⁴ Qaradawi, Fiqh al-Jihad, 2009.
¹⁵ Ibn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah, 7 jilid.
¹⁶ Davutoglu, Strategic Depth, 2001.
¹⁷ Abrahamian, A History of Modern Iran, 2008.
¹⁸ Phillips, The Battle for Syria, 2016.
¹⁹ Nasr, The Shia Revival, 2006.
²⁰ Said Ramadan, Islam and Modernity, 1961.
²¹ Bin Baz, Majmu' Fatawa, jilid 7.
²² Henderson, After the Arab Spring, 2014.
²³ Norton, Hezbollah: A Short History, 2007.
Daftar Rujukan (Chicago Style)
Abrahamian, Ervand. A History of Modern Iran. Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
Al-Kulaini. al-Kāfi. Beirut: Dar al-Adwa’, t.t.
Al-Majlisi. Bihar al-Anwar. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath, t.t.
Al-Nawawi. al-Majmu’. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Tusi. al-Istibṣar. Qum: Maktabah al-Mufid, t.t.
Asy-Syathibi. al-I‘tiṣām. Kairo: Dar al-Turats, 1968.
Bin Baz. Majmu' Fatawa. Riyadh: Dar al-Watan, 1995.
Davutoglu, Ahmet. Strategic Depth. Istanbul: Küre Yayınları, 2001.
Hallaq, Wael. A History of Islamic Legal Theories. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Henderson, Simon. After the Arab Spring. Washington DC: WINEP, 2014.
Ibn Hajar al-‘Asqalani. Fath al-Bārī. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
Ibn Taymiyyah. Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah. Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah, t.t.
Khomeini, Ruhollah. Islamic Government: Governance of the Jurist. Tehran: Institute for Compilation, 1970.
Madelung, Wilferd. The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Momen, Moojan. An Introduction to Shi‘i Islam. New Haven: Yale University Press, 1985.
Nasr, Vali. The Shia Revival. New York: Norton, 2006.
Norton, Augustus Richard. Hezbollah: A Short History. Princeton: Princeton University Press, 2007.
Phillips, Christopher. The Battle for Syria. London: Yale University Press, 2016.
Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Jihad. Kairo: Dar al-Syuruq, 2009.
Hadanallahu Waiyyakum Ajma'in
Awang Dadang Hermawan
*) Pemerhati Intelijen, Sosial Politik dan SARA
############
27 - 12 - 2025
