Foto : ilustrasi |
Kuningan News, Kepekaan pemerintah terhadap nasib
wong cilik kelihatannya perlu terus diasah. Pasalnya, potret kesusahan mereka
masih ditemui di banyak tempat.
Ini menimpa
salah satu pedagang kecil yang belasan tahun buka warung semacam warkop di desa
yang masuk wilayah Kuningan Timur. Kepada KuninganNews, dia mewanti-wanti untuk
tidak dituliskan identitasnya lantaran takut terjadi apa-apa pada diri dan
keluarganya.
“Namanya
juga orang kecil, wajar kalau ada ketakutan. Apalagi saya bukan warga asli desa
ini,” ucapnya mengawali percakapan.
Sambil
bicara terbata-bata, pria ini menceritakan kisahnya sebagai orang kecil yang
tidak jarang dijadikan “komoditas politik”. Selama belasan tahun dirinya sudah mandiri
untuk membuka usaha sendiri.
“Saya
ngontrak sebuah tempat, ya ukuran kecil lah. Ada ruangan buat tidur, kamar
mandi, dan di depannya saya jadikan warung buat usaha,” kata ayah satu anak
itu.
Hingga
sekarang, pria ini beserta anak istrinya masih ngontrak di tempat tersebut.
Listriknya satu paket. Ia tergolong warga pendatang, namun karena sudah lebih
dari 10 tahun tinggal di sana hingga melahirkan seorang anak, seharusnya tidak
dicap sebagai warga pendatang lagi.
Sebelum
wabah covid, ia berjuang untuk mencukupi keluarga secara mandiri. Kebutuhan
permodalan, pinjaman KUR ke bank jadi andalan. Sudah empat periode dirinya
meminjam, mulai 5 juta hingga 25 juta rupiah.
“Tapi pas
covid, bener-bener merosot. Cicilan ke bank juga ditangguhkan dalam 6 bulan ini.
Cuma bayar bunganya saja,” ungkapnya.
Rizki dari
Allah SWT tetap ia syukuri. Meski jualannya sepi, namun masih ada pembeli.
Sayangnya, uang yang diperoleh dihabiskan untuk kebutuhan sehari-sehari,
termasuk modal usaha pun terpakai.
Pada saat
genting seperti itu, dirinya merasa seolah tidak ada yang memerhatikan. Bantuan
dari provinsi, pusat, daerah, sampai bantuan dari desa, ia hanya mendengar
kabarnya saja. Termasuk rencana bantuan UMKM senilai 2,4 juta rupiah.
“Saya gak
mendengar ada bantuan UMKM. Orang desa ngasih taunya pas udah lewat tanggal
pendaftaran. Apalagi di situ ada syarat bukan nasabah bank,” ujarnya berkeluh
kesah.
Pria ini
tidak habis pikir soal parameter apa yang digunakan pemerintah dalam menentukan
penerima bantuan disaat wabah covid. Ia tidak dapat sedikit pun, sementara di
desanya banyak orang yang terbilang mampu justru malah mendapatkan.
“Kalau
begini saya mesti ngadu ke siapa. Mau datang ke kantor pemda, yang namanya
orang kecil kan takut (segen, red). Takut dimarahin lah, takut dicuekin lah,”
tuturnya.
Pengontrak
belasan tahun dengan listrik 1 paket dan BPJS gratis itu, bukan penerima
bantuan program PKH. Namun di era covid, dirinya sama sekali tidak tersentuh
bantuan dari pemerintah.
Yang
membuatnya kesal, ketika mendengar orang lain mendapatkan bantuan. Bahkan orang
yang tergolong lebih mampu darinya, menikmati bantuan pula. Wajar jika dirinya
merasa tidak diakui sebagai warga negara.
“Tolonglah
bupati itu pantau keadaan di bawah. Jangan ngandalin aparat desa saja. Saya
juga pengen ngerasain apa yang orang lain dapet. Sudah mah usaha lagi begini,
toko modern juga buka usaha kopi dan tongkrongan. Yah, nasib orang kecil mah
kayak begini,” kata dia dengan raut muka memendam kemarahan.
Saat bantuan
sembako atau uang cash disalurkan ke warga desanya, ia hanya sekadar mendengar saja.
Dirinya bukan penerima PKH, bahkan saat istrinya melahirkan hanya mendengar
kabarnya saja bahwa ada bantuan untuk balita.
Diakuinya ia
hanya sebagai warga pendatang. Namun karena sudah belasan tahun tinggal di
sana, dirinya telah berKTP sebagai warga di desa tersebut. Kendati demikian,
cap pendatang masih menempel sehingga pria tersebut masih merasa tersisihkan
dari sisi kucuran bantuan. (derium)